Bupati Boven Digoel divonis 4,5 tahun penjara.

Bupati Boven Digoel Divonis 4,5 Tahun Penjara

Selasa, 02 November 2010
Salah satu anggota hakim menyatakan dissenting opinion
 

Bupati Boven Digoel divonis 4,5 tahun penjara. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Bupati Boven Digoel Papua, Yusak Yaluwo bersalah melakukan korupsi dalam pengadaan satu unit kapal tanker dan penggelapan dana APBD pada tahun 2006-2007. Yusak pun diganjar hukuman empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp200 juta subsidair enam bulan kurungan.
Hal tersebut diutarakan Ketua Majelis Hakim Herdi Agustein Selasa (2/11). Menurut dia, terdakwa telah terbukti memperkaya diri sendiri dengan merugikan keuangan negara yakni melanggar Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 55 Ayat (1) Kesatu KUHP.

Selain menjatuhi hukuman bui, lanjut Herdi, majelis juga memerintahkan terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp45,7 miliar. Uang pengganti ini wajib dibayar terdakwa selama satu bulan. Bila dalam kurun waktu tersebut pembayaran tak dilakukan, seluruh harta kekayaan Yusak disita oleh negara. "Jika tak mencukupi, dipidana selama dua tahun," tegas Herdi.

Hakim Anggota I Made Hendra Kusuma menuturkan, terdakwa terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan satu unit kapal tanker LCT (Wambon) dan penggelapan dana APBD Kabupaten Boven Digoel tahun 2006-2007. Seluruh kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan terdakwa mencapai Rp66,7 miliar. Dengan perincian dana Rp2,5 miliar dari keuntungan pembelian kapal Wambon dan penggelapan dana APBD sebesar Rp64,2 miliar yang dilakukan secara bertahap hingga 46 kali.

Made Hendra menjelaskan, pada tahun 2005, Kabuaten Boven Digoel tak memiliki alokasi anggaran untuk pembelian kapal tanker. Namun, terdakwa tetap meminjam dana ke bank sebesar Rp6 miliar untuk membeli kapal. Kemudian, pada Januari 2006 hingga November 2007 terdakwa perintahkan anak buahnya untuk mengambil dana dari pos anggaran bantuan sosial Kabupaten Boven Digoel. Untuk itu, terdakwa dengan sengaja membeli kapal tanker meskipun tak ada alokasi anggaran begitupun dan dengan sengaja terdakwa memerintahkan ke bawahannya untuk mencairkan dana dari pos anggaran bantuan sosial.

"Tidak dapat dibenarkan seorang bupati ambil dana dari pos-pos anggaran pemda lalu membagikan ke masyarakat secara tunai. Perbuatan ini kontraproduktif karena sama saja beri ikan bukan beri kail kepada seorang nelayan. Maka terdakwa telah menggunakan dana tidak sesuai peruntukkannya," tutur I Made.

Hakim Hendri Yospin menambahkan, dari pembelian kapal Wambon terdapat selisih harga yang menjadi keuntungan terdakwa yaitu sebesar Rp2,5 miliar. Harga kapal Rp3,5 miliar lalu terdakwa meminjam Rp6 miliar ke bank terkait pembayarannya. Atas fakta hukum ini, ada kesengajaan dari terdakwa untuk pinjam uang lebih dari harga kapal. "Ada Rp2,5 miliar selisih dana pinjaman dengan harga kapal adalah tanggung jawab terdakwa."

Kemudian, urai Hendri, dari total dana APBD Boven Digoel sebesar Rp64,2 miliar, sekitar Rp19,65 miliar dibagi-bagikan terdakwa ke beberapa rekannya. "Demikian terdakwa telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp47,12 miliar," katanya.

Dissenting Opinion
Putusan ini tak diambil secara bulat. Salah satu hakim anggota Andi Bachtiar menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurutnya, pada Pasal 156 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa kepala daerah adalah pemegang kekuasaan di daerah. Maka itu, dalam pengadaan kapal Wambon yang sumber dananya dari keuangan daerah, terdakwa memiliki kewenangan melakukannya. Namun Andi mengakui terdapat penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan terdakwa karena tidak mengangkat pimpinan produksi dalam pengadaan.

Soal pembayaran uang pengganti, lanjut Andi, sepanjang pemeriksaan perkara terdakwa tak ada satu alat bukti satu pun yang menyatakan terjadinya kerugian keuangan daerah. Alat bukti yang dimaksud berupa surat atau dokumen pencairan atau pemberian dana dari terdakwa ke beberapa rekannya dan masyarakat Boven Digoel. Karenanya, uang terdakwa yang disita oleh KPK sebesar Rp1,83 miliar harus dikembalikan ke terdakwa. "Tak satu pun dapat dibuktikan oleh penuntut umum. Kepada terdakwa tidak dapat dikenakan penyitaan. Maka itu uang terdakwa yg disita Rp1,83 miliar harus dikembalikan ke terdakwa," ujarnya.

Andi menegaskan, merujuk pada UU Otonomi Khusus, terdakwa yang juga diangkat menjadi ketua adat di Boven Digoel memiliki kewajiban untuk mensejahterakan masyarakatnya. Untuk itu, tindakan terdakwa yang membagi-bagikan uang ke masyarakat tidak bisa dikatakan sebagai tindakan untuk kepentingan diri sendiri. "Untuk itu pidana penjara yang pantas untuk terdakwa adalah dua tahun enam bulan," katanya.

Hal senada juga diutarakan pengacara terdakwa, Marthen Pongrekun. Meskipun membagi-bagikan uang ke masyarakat, tindakan yang dilakukan kliennya hanya untuk membela kepentingan umum.

Terkait pengadaan kapal tanker, pihaknya juga bersikukuh bahwa terdakwa tak bersalah. Karena kebutuhan kapal saat itu sangat mendesak. Meskipun memiliki persoalan administrasi, pengadaan kapal bisa dianggap benar. "Pengadaan kapal mendesak sekali, kita lihat dari segi manfaatnya. Masalah administrasi saja. Kita memaklumi karena SDM (Sumber Daya Manusia) dan pendidikan di sana sangat rendah. Akan banding," pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar